03 Desember 2011

Hadits-Hadits yang berkaitan dengan shalat



A.Tatacara shalat
اَخْبَرَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ محُمّدٍ عَنْ عَلىِّ بْنُ يَحْيَ بْنُ خَلَاّدٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رِفَاعَةْ بْنُ مَالِكٍ اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : اِذَا قَامَ اَحَدُكُمْ اِلَى الصَّلَاةِ فَلْيَتَوَضَّاءُ كَماَ اَمَرَاللهُ تَعَالَى ثُمَّ لِيُكَبِّرَ فَاِءنْ كَانَ مَعَهُ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْاَنِ قَرَاءَ بِهِ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْاَنِ فَلْيَحْمَدِ اللهِ وَلْيُكَبِّرْهُ ثُمَّ لْيَرْكَعْ حَتَّى يَطْمَئِنَّ رَاكِعاً ثُمَّ لْيَقُمْ حَتَّى يَطْمَئِنَّ قَائِماً ثُمَّ لْيَسْجُدْ حَتَّى يَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ لْيَرْفَعْ رَاءْسَهُ فَلْيَجْلِسْ حَتَّى يَطْمَئِنَّ جَالِسًا فَمَنْ نَقَضَ مِنْ هَذِهِ فَاءِنَّمَا يَنْقُصُ مِنْ صَلَاتِهِ.
Artinya:
“ Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad  dari Ali bin Yahya bin Khalad dari ayahnya dari kakeknya yang bernama Rifa’ah bin Malik bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “ Apabila diantara kamu akan mengerjakan shalat, hendaklah dia berwudhu’ lebih dahulu sebagaimana yang telah diperintahkan Allah, lalu dia bertakbir, kemudian bila dia menghafal sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an, hendaklah dia membaca hamdalah (memuji kepada Allah) dan bertakbir, lalu ruku’ sehingga sempurna di dalam ruku’ kemudian berdiri (i’tidal) hingga sempurna di dalam berdiri, lalu bersujud hingga sempurna di dalam sujud, kemudian mengangkat kepala (bangkit), lalu duduk hingga sempurna di dalam duduk, barang siapa mengurangi sedikit saja dari tatacara ini, berarti dia telah mengurangi pelaksanan shalat”.
Penjelasan hadits :
Dalam hadits diatas mengandung arti bagaimana tata cara kita melaksanakan sholat.  Rasulullah yelah menjelaskannya di dalam hadits tersebut.  Sabda Rasul :“ bila menghafal sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an, hendaklah membacanya, dan bila tidak menghafal hendaklah membaca hamdalah,” adalah sebagai perintah pada permulaan Islam, yang pada waktu itu Al-qur’an belum banyak diturunkan, dan belum ada aturan di dalam shalat harus membaca Al-fatihah, atau dalam keadaan darurat. Misalnya ada orang awam yang baru massuk Islam kemudian dia akan melaksanakan sholat, tetapi belum hafal bacaan surat Al-Fatihah, maka ia diperbolehkan membaca sembarang ayat Al-Qur’an yang sudah di hafalnya, atau membaca hamdalah saja dalam pelaksanaan sholat sebagai ganti dari bacaan surat Al-Fatihah, dan tentu saja ia harus terus beljar supanya hafal surat Al-Fatihah.
            Bila hadits tersebut tidak difahami demikian, maka akan memunculkan permasalahan, sebab hadits tersebut bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menerangkan, bahwa sholat tidak akan sah bila tidak disertai bacaan surat Al-Fatihah. Namun boleh jadi yang dimaksud pada hadits diatas adalah surat Al-Fatihah, sehingga dapat dipahami sholat dengan membaca surat Al-Fatihah saja sudah sah. Tetapi bila lafal  "ان كان معه شيء من القران" dimaksudkan sebagai surat-surat pendek dalam Al-Qur’an, kemudian dibaca sesudah bacaan Fatihah, maka lebih utama, sebab telah kita maklumi, bahwa membaca salah satu surat atau ayat dalam sholat sesudah Fatihah, hukumnya adalah sunat.[1]
            Adapun hadits lain yang menerangkan tatacara dalam sholat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Anas:
اَخْبَرَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمّدٍ قَالَ اَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ عَجُلَانِ عَنْ عَلِىِّ ابْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّا دٍ عَنْ رِفَاعَةَ بْنُ رَافِعٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ لِيُصَلَّىَ فِى الْمَسْجِدِ قَرِيْبًا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَعِدْ صَلَاتَكَ فَاِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ, فَقَامَ فَصَلَّى بِنَحْوِ مَا صَلَّى, فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَعِدْ صَلَا تَكَ فَاِنَّكَ لَمْ تُصَلِّىى. فَقَالَ: عَلِّمْنِى يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ اُصَلّىِ, قَالَ: اِذَا تَوَجَّهْتَ اِلَى الْقِبْلَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَاءْ بِاُمِّ الْقُرْاَنِ وَمَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَقْرَاءَ, فَاِذَا رَكَعْتَ فَاجْعَلْ رَاحَتَيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ وَمَكِّنْ رُكُوْعَكَ وَامْدُدْ ظَهْرَكَ, فَاِذَا رَفَعْتَ فَاَقِمْ صُلْبَكَ وَارْفَعْ رَاءْسَكَ حَتّىَ تَرْجِعَ الْعِظَامَ اِلَى مَفَاصِلِهَا, فَاِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنِ السُّجُوْدَ, فَاِذَا رَفَعْتَ فَاجْلِسْ عَلَى فَخِذِكَ الْيُسْرَى ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ وَسَجْدَةٍ حَتَّى تَطْمَئِنَّ.
Artinya :
“Telah mengkabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia telah berkata: “telah mengkabarkan kepadaku Muhammad bin Ajlan dari Ali bin Yahya dari Khalad dari Rifa’ah bin Rafi’, dia telah berkata:” Ada seorang lelaki mengerjakan sholat di dalam masjid, berdekatan dengan Rasulullah SAW. Stelah selesai shalat, lelaki itu datang menghadap Rasul, sambil mengucapkan salam pada beliau, kemudian Rasulullah bersabda:” Ulangi sholatmu, sebab sesungguhnya kamu belum melaksanakan sholat ”. kemudian lelaki itu segera berdiri, lalu melaksanakan sholat seperti apa yang dilakukan sebelumnya. Rasulullah bersabda lagi:” Ulangi shalatmu, sebab sesungguhnya kamu belum melaksanakan sholat “. Lelaki itu kemudian berkata: “Yaa Rosulullah, ajarkan kepadaku bagaimana seharusnya aku sholat”. Rasululloh kemudian bersabda:” jika engkau menghadap kiblat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah surat Al-Fatihah dan apa yang engkau hapal dari sebagian ayat-ayat Al-Qur’an, apabila engkau ruku’, maka letakkanlah kedua tanganmu diatas lutut, dan tekanlah ruku’mu serta luruskanlah punggungmu, dan tegakkanlah kepalamu, hingga tulang-tulangmu kembali pada tempat semula, apabila engkau sujud btekanlah sujudmu, dan bila engkau bangun dari sujud, maka duduklah diatas telapak kaki kirimu, kemudian lakukanlah hal seperti iti pada setiap raka’at, dan lakukanlah sujud (yang kedua), sehingga engkau tumakninah”.
Penjelasan hadits :
            Rasulullaah SAW telah mengajarkan tatacara shalat yang sempurna, setelah sebelumnya beliau menyaksikan ada seorang laki-laki yang melaksanakan shalat secara sembarangan didekat beliau. Rasulullah mengajarkan shalat setelah lelaki tersebut meminta kepada beliau untuk mengajarkannya. Ini sebagai bukti betapa bijaknya Rasulullah dalam menuntun umatnya kearah kesempurnaan beribadah..
            Dilihat dari makna hadits diatas dapat dipahami bahwa lelaki itu melakukan kekurangan atau kesalahan yang berkait erat dengan syarat dan rukun shalat. Di dalamnya nampak jelas, bahwa penjelasan Rasulullah bersifat memberikan pelajaran tentang tatacara shalat yang sempurna, yang mencakup hal-hal yang fardu dan yang sunat, yang rukun dan yang syarat.
            Yang dimaksud dengan ummul-qur’an adalah surat Al-Fatihah yang sering juga disebut dengan ummul-kitab.  Rasul juga mengajarkan bagaimana cara ruku’,sujud i’tidal, dan juga duduk diantara dua sujud yang disebut dengan duduk iftirosy. Semua itu rasul ajarkan dengan detail.[2]
B. Shalat jama’ah bagi kaum perempuan
اَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَمْنَعُوْا اِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.
Artinya :
            “Telah mengkabarkan kepada kami Sofyan dari Zuhri dari Salim dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Janganlah kamu melarang hamba-hamba perempuan Allah untuk mendatangi masjid-Nya”.

Penjelasan hadits :
            Lafal al-ima-u  adalah bentuk jama’ dari lafal amatun yang mempunyai arti hamba sahaya perempuan. Namun makna yang dimaksud pada hadits diatas adalah kaum wanita, hingga pengertiannya adalah : “Janganlah kalian melarang kaum wanita menghadiri shalat jama’ah di masjid”. Ini berarti, bahwa kaum wanita dianjurkan pula untuk melakukan shalat jama’ah dimasjid. Mereka mendapat kasempatan dan pahala yang sama dengan kaum lelaki. Hanya saja kaum wanita harus pandai-pandai memelihara diri ketika berjalan menuju masjid, agar tidak menjadi sumber fitnah.[3]
            Hadits lain yang menerangkan wanita dianjurkan untuk melaksanakan shalat  jama’ah di masjid adalah:
اَخْبَرَنَا بَعْضُ اَهْلِ اْلعِلْمِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ اَبِى سَلَمَةَ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَمْنَعُوْا اِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ فَاِذَا خَرَجْنَ فَلِيَخْرُجْنَ لِلصَّلَاةِ.
Artinya :
            “Telah mengkabarkan kepada kamibeberapa orang ahli ilmu dari Muhammad bin Amrin bin Alqamah dari Abi Salamah Dari Abi Huroiroh, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Janganlah kamu melarang budak-budakmu (kaum perempuan) untuk mendatangi masjid-masjid Allah. Jika budak-budak wanita keluar, hendaklah mereka keluar untuk melaksanakan shalat”[4].
Pejelasan hadits :
            Maksud dari hadits diatas tidaklah jauh berbeda dengan maksud hadits yang pertama, yaitu untuk tidak melarang para kaum wanita untuk berjama’ah di masjid. Kata-kata pada akhir hadits diatas mengandung ma’na bahwa para perempuan tersebut boleh keluar tanpa mahramnya, namun benar-benar untuk melaksanakan shalat jama’ah.
C. Shalat jama’ dan qoshor
اَخْبَرَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ اِبْنِ حَرْمَلَةَ عَنْ اِبْنِ المُسَيَّبِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خِيَارَكُمْ الَّذِيْنَ اِذَا سَفَرُوا قَصَرُوا الصَّلَاةَ وَافْطَرُوا اَوْ قَالَ لَمْ يَصُوْمُوا.
Artinya :
            “telah mengkabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad dari Ibnu Harmalah dari Ibnu Musayyab, dia berkata: Rasulullahi SAW telah bersabda: “sebaik-baik orang diantara kalian adalah mereka yang apabila bepergian mengqasar shalat dan berbuka puasa”, atau beliau bersabda: “tidak mengerjakan puasa”.
Penjelasan hadits:
            Lafal aumenunjukkan pengertian ragu dari pihak perawi. Pengertiaan kahiriyah dari hadits ini menunjukkan, bahwa shalat qhasar adalah lebih utama bagi orang yang berada dalam bepergian (musafir). Pendapat inilah yang masih ada dua pendapat lagi, yang salah satunya mengatakan, bahwa antara qhasar dan itmam (meringkas dan menyempurnakan) adalah sama saja. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa, itmam (menyempurnakan) lebih utama dari pada qhasar (meringkas)
            Menurut madzhab Hanafi, qhasar merupakan hal yang wajib bagi seorang musafir. Mereka mengambil dalil hadits diatas dan juga hadits yang bersumber dari ‘Aisyah R.a yang mengatakan bahwa pada awalnya shalat difardukan dua rakaat-dua rakaat. Lalu shalat dalam perjalanan ditetapkan dua rakaat, sedang dalam keadaan drumah (sedang tidak dalam bepergian) ditambahkan hingga menjadi empat rakaat (bagi shalat isya’, zhuhur, dan ‘ashar) dan tiga raka’at (bagi shalat magrib).
            Imam Assyafi’i dan orang-orang yang sependapat dengannya berpegang kepada dalil yang menyatakan bahwa, para shahabat bepergian bersama Rasulullah, kemudian diantara mereka ada yang mengqashar shalatnya, dan ada pula yang menyempurnakan shalatnya, tanpa ada yang saling cela mencela diantara mereka. Hadits Aisyah yang dijadikan sebagai pegangan oleh madzhab Hanafi menunjukkan, bahwa pengertian difardhukan dua raka’at adalah bagi orang yang hendak mengqasharnya.[5]
            Inilah hadits yang bersumber dari Aisyah yang dijadikan dalil oleh madzhab Hanafiah:
اَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِىِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: اَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فَزِيْدَتْ فِى صَلَاةِ الْحَضَرِ وَاُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ. فَقُلْتُ: مَا شَاءْنُ عَائِشَةَ كَانَتْ تُتِمُّ الصَلَاةَ, قَالَ: اِنَّهَا تَاَوَّلَتْ مَا تَاَوَّلَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
Artinya:
            “Telah mengkhabarkan kepada kami Sofyan dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah r.a, dia berkata: “shalat yang pertama kali diwajibkan adalah dua raka’at dua raka’at. Kemudian untuk orang yang tinggal di rumah ditambah (menjadi tiga atau empat Raka’at), lalu shalat yang dua raka’at ditetapkan bagi yang dalam perjalanan(shalat safar). Lalu saya bertanya: “ menngapa Aisyah dahulu pernah mengerjakan shalat safar dengan lengkap?” Urwah menjawab: “ketika itu Aisyah telah melalkukan hal ynag berlainan dengan Nabi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Utsman bin Affan.”
Penjelasan hadits:
            Menurut hadits diatas bahwa pada awal mulanya shalat yang di fardukan dua raka’at, seperti halnya riwayat Imam Muslim, bahwa shalat pada permulaan difardukannya adalah dua raka’at.
            Apabila Aisyah telah mengetengahkan sebuah riwayat bahwa shalat pada awalnya diisyaratkan dua raka’at, dan dia menetapkan dua raka’at dalam perjalanan sebagaimana dalam pentasyri’an pertamanya, lantas mengapa Aisyah bertentangan dengan riwayat yang ditengahkannya, bahkan ia mengitmamkan shalatnya?. Pertanyaan ini di ajukan oleh Azzuhri, sedangkan yang ditanya adalah ‘Urwah, sebagaimana yang disebut dalam riwayat Imam Muslim , Az-Zuhri menggatakan: “maka aku bertanya kepada Urwah, mengapa Aisyah mengitmamkan shalatnya dalam perjalanan? “urwah menjawab, bahwa Aisyah bertakwil sebagailmana Ustman bertakwil. Para ‘ulama’ berbeda pendapat tentang takwil (interpretasi) yang dilakukan Aisyah dan Utsman. Tetapi menurut pendapat yang shahih dan dijadikan pegangan oleh ulam’ ahli tahqiq, keduanya berpandangan bahwa qashar adalah adalah perkara yang jaiz (boleh) dan itmampun perkara yang jaiz pula., karena itu keduanya mengamalkan salah satu dari dua hal yang jaiz tersebut.
            Pendapat yang lain mengatakan, bahwa yang demikian itu karena Utsman berkedudukan sebagai Imamul-mukminiin, sedangkan Aisyah adalah ibu kaum mukminin. Tetapi pendapat ini dibantah oleh ulama’ ahli tahqiq ,bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling utama dalam hal tersebut, dan lebih nulia daripada keduanya.
            Pendapat yang dikukuhkan dikalangan ulama’ adalh yang pertama, yakni yang mengatakan bahwa keduanya mentakwikan hadits (perkataan) Aisyah berikut “ semuanya itu pernah dikerjakan oleh Rasulullah, baik mengqashar maupun mengitmamkan shalat. Pendapat ini jelas menunjukkan bahwa seorang musafir dipersilahkan memilih antara keduanya. Pendapat ini adalah salah satu yang di pakai dikalangan madzhab Syafi’i.
            Sedangkan madzhab Hanafi lebih memilih memakai hadits-hadits yang mewajibkan qashar, dan tidak ada bedanya antara musyafir dengan tujuan taat maupun maksiat. Lain dengan Syafi’iyah yang melarang qashar bagi musafir dalam maksiat.[6]
            Hadits berikutnya adalah tentang bolehnya menjama’ dua shalat dalam satu waktu, misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut ini:
      اخبرنا ابن ابى يحيى عن حسين بن عبدالله بن عبيدالله ابن عبّاس عن كريب عن ابن عبّاس رضي الله عنهما انه قال: الا اخبركم عن صلاة رسول الله ص.م فى السّفر؟ كان اذا زالت الشمس وهو فى منزله جمع بين الظهر والعصر فى الزوال, فاذا سافر قبل ان تزول الشمس اخّر الظهر حتى يجمع بينهما وبين العصر فى وقت العصر, قال :واحسبه قال فى المغرب والعشاء مثل ذلك.
Artinya:
            “Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Abi Yahya dari Husain bin Abdillah bin Ubaidillah bin Abbas dari Kuraib dari Ibnu Abbas, bahwa dia telah berkata: “maukah kalian aku beri tahu tentang shalat Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan? Apabila matahari telah tergelincir, sedangkan beliau masih berada di rumah, maka beliau menjama’ shalat dhuhur dengan ‘asar pada saat matahari tergelincir itu. Dan apabila beliau bepergian sebelum matahari tergelincir, maka beliau akhirnya shalat dhuhur sampai kemudian beliau menjama’ antara dhuhur dengan ‘asar di waktu ‘asar. Kuraib berkata: “dan aku kira dia (Ibnu Abbas) pun berkata:” beliau melakukan shalat magrib dengan isya’ seperti itu juga.”
Penjelasan hadits:
            Hadits ini memberikan pengertian tentang diperbolehkannya menjama’ dua shalat dalam perjalanan. Jadi kesimpulan hadits ini menurut madzhab Syafi’i dan kebanyakan ulama’ adalah bahwa bagi oarang yang bepergian (musafir) diperbolehkannya menjama’ shalat dhuhur dan ‘asar, shalat magrib dan ‘isya’ di waktu manapun diantara keduanya yang dikehendaki, boleh jama’ taqdim, maupun jama’ takhir.
            Menjama’ shalat juga diperbolehkan pula karena hujan pada waktu pelaksanaan shalat yang pertama. Tetapi tidak bolehmelakukan jama’ bila hujan turun pada waktu pelaksanaan shalat ynag pertama. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafi’i dan kebanyakan ulama’ orang yang sakit tidak boleh menjama’ shalat, tetapi Imam Ahmad dan segolongan ulama’ dari kalangan teman-teman Imam Syafi’i membolehkannya.
            Imam Abu Hanifah tidak membolehkan menjama’ diantara dua shalat karena tiga faktor diatas, yakni dalam perjalanan, dalam keadaan sakit dan dalam keadaan hujan, serta faktor yang lain. Sesungguhnya mereka membolehkan menjama’ antara shalat dhuhur dan asar di ‘Arafah, demikian pula antara magrib dan isya’ di Muzdalifah, adalah karena sedang ibadah haji, diluar itu tidak boleh.[7]
            Adapun hadits lain yang memperbolehkan menjama’ shalat adalah:
      اخبرنا مالك عت ابى الزبير عن ابى طفيل عن معاذ بن جبال ان رسول الله صلى الله عليه وسلّم كان يجمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء فى سفره الىتبوك.
Artinya:
            “Telah menkhabarkan kepada kami Malik dari Zubair dari Abu Thufail dari Mu’adz bin Jabal: Sesungguhnya Rasulullah SAW biasa menjama’ shalat dhuhur dengan shalat ‘asar, dan magrib denagan isya’ dalam perjalanan beliau ke Tabuk.”
D. Shalat jika dalam kendaraan
حديث ابن عمر قال: كان النبي ص.م. يصلى فى السفر على راحلته حيث توجهت يومئ ايماء صلاة اليل الاّ الفرائض ويوتر على راحلته.(اخرجه البخارى)
Artinya:
            “Hadits Ibnu Umar Dimana ia berkata: “Nabi SAW biasa mengerjakan shalat malamkecuali shalat-shalat fardlu di atas kendaraan dalam bepergian dengan menghadap kearah tujuan kendaraannya, beliau menunduk dengan isyarat, beliau juga mengerjakan shalat witir juga di kendaraannya”.
Penjelasan hadits:
            Menurut keterangan hadits tersebut bahwa shalat sunah diatas kendaraan diperbolehkan, untuk zaman yang sekarang ini mungkain malah sangat wajar, semisal jika kita berada di dalam perahu, maka kita boleh melaksanakan shalat di dalamnya, dengan keyakinan kita menentukan arah kiblat, jadi tanpa kita berpindah dari satu arah kearah yang lainnya. Misalnya kita yakin dengan arah kita menghadap pertama kali, maka jika saat kendaraan itu berbelok kita tidak perlu untuk mengikuti belokan dari kendaraan tersebut.
والله اعلم بالصّواب



[1] Hadits-hadist Ahkam riwayat Assyafi’i, Ahmad Mujab Mahalli:Rajawali pers,Jakarta,170
[2] Ibid,172
[3] Hadits-hadits ahkam riwayat Assyafi’i, Ahmad Mudjab Mahalli,Jakarta:Rajawali pers:2003,251
[4] Ibid,252
[5] Ibid,440
[6] Ibid,447
[7] Ibid,455

Tidak ada komentar:

Posting Komentar