02 Desember 2011

Daftar penerima waris beserta bagiannya



          Secara garis besar ahli waris dalam Islam di bagi menjadi 2 golongan yaitu menurut sebab mendapatkannya, dan menurut bagiannya.
A.MENURUT SEBAB MENDAPATKANNYA
            Ahli waris dari segi sebab mendapatkannya ada tiga golongan:
1.Ahli waris Nasabiyah
2.Ahli waris Sababiyah
3.wala’

1. Ahli waris Nasabiyah
Adalah mendapatkan waris dengan jalan nasab atau kekerabatan. Ahli waris nasabiyah ini di bagi lagi dalam tiga golongan, yaitu:
a.furu’  (anak turun [cabang] dari si mati)
·         Anak laki-laki
·         Anak perempuan
·         Cucu laki-laki pancar laki-laki
·         Cucu perempuan pancar laki-laki
·         Sampai ke bawah betapapun jauhnya
b.Ushul (leluhur [pokok] yang menyebabkan adanya si mati)
·         Ayah
·         Ibu
·         Kakek (shohih)
·         Nenek (shohihah)
·         Sampai keatas betapun tingginya
c.Hawasyi (keluarga yang di hubungkan dengan si mati dengan garis menyamping)[1]
·         Saudara laki-laki
·         Saudara perempuan
·         Saudara seayah
·         Saudari seayah
·         Saudara-saudari tunggal ibu
·         Paman
·         Dan anak turunnya tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.

2.Ahli waris sababiyah
Adalah mendapatkan warisan dikarenakan suatu sebab, yaitu pekawinan yang sah.
Syarat-syarat suami / istri bisa mewaris:
Pertama, perkawinan yang dilakukan sah menurut syari’at islam
Kedua, ikatan perkawinan antara suami-istri itu masih utuh/dianggap masih utuh. Perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan itu telah diputuskan dengan talak raj’iy, tetapi masa iddah raj’iy bagi seorang istri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh , karen adisaat iddah masih berjalan suami mempunyai hak penuh untuk merujuk kembali bekas istrinya yang masih menjalankan iddah.[2]
3.Wala’
Wala’ dalam syari’at mempunyai pengertian:
a.       Kekerebatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan atau memberi hak emansipasi terhadap budak
b.       Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ dalam arti yang pertama disebut dengan wala’ul-‘ataqah  atau ‘ushubah sababiyah , yakni ‘ushubah yang bukan disebabkan  karena adanya pertalian nasab, tetapi disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak. Wala’ juga dapat di masukkan kedalam ahli waris sababiyah.
Apabila seorang pemilik budak telah membebaskan budaknya dengan mencabut hak kewaliannya dan hak mengurusi harta bendanya, maka ia telah merubah status seeorang yang semula tidak dapat bertindak, menjadi dapat memiliki, mengurusi dan mengadakan transaksi-transaksi terhadap harta bendanya sendiri, dan dapat melakukan tindakan hukum yang lain. Sebagai kenikmatan yang telah diberikan terhadap budaknya dan sebagai imbalan atas melaksanakan anjuran syari’at untuk membebaskan budak, syariat memberikan hak wala’ padanya. Oleh karena itu wala’ oleh Rasulullah SAW dianggap sebagai kerabat berdasarkan nasab, dalam sabdanya:
الوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوْهَبُ (رواه الحا كم(:
            “Wala’ itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh dijual dan dihibahkan” (HR. Al-hakim).
            Sedang walak dalam arti kedua disebut dengan walaul-muwalah , misalnya seorang berjanji sebagai berikut: “hai saudara, engkau adalah tuanku yang dapat mewarisi aku jika aku telah mati dan dapat mengambil diyah (tebusan) untukku jika aku dilukai seseorang”. Namun wala’ menjadi sebab mempusakai ini sudah di nasakh dalam KUHW Mesir (jumhur ulama’).[3]
B. AHLI WARIS MENURUT BAGIANNYA
            Seperti halnya ahli waris menurut sebab mendapatkannya, ahli waris dari segi bagiannya pun di bagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1.Dzawi al-Furudl
2.Ashobah
3.Dzawi al-Arham
            1. Dzawi al-Furudl dan Furudu al-muqaddarah_nya
            Dzawi al-furudl adalah ahli waris yang sudah diterntukan di dalam Al-Qur’an, yaitu ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah[4]. Mereka semua ada dua belas orang, empat orang lelaki dan delapan orang wanita. Ashhabul furudl dari lelaki adalah, suami, ayah, kakek sejati, dan saudara dari ibu. Ashhabul furudl dari wanita ialah, isrti, ibu, nenek sejati, anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu[5]. Adapun rinciannya masing-masing terdapat pada surat Annisa ayat 11,12, dan 176.
            Para ahli waris diatas (dzawi al- furudl) mempunyai bagian-bagian yang sudah di tentukan dalam nash atau dengan ijma’ (furud al-muqaddarah). Syari’at Islam menentukan furud al-muqaddarah tersebut ada 6 macam, yaitu:[6]
§  Dua pertiga (2/3)
§  Sepertiga (1/3)
§  Seperenam (1/6)
§  Seperdua/separo (1/2)
§  Seperempat (1/4)
§  Seperdelapan (1/8)
Diasamping furud al-muqaddarah yang 6 tersebut, masih terdapat satu macam furud al-muqddarah hasil ijtihad para jumhur fuqaha, yaitu sepertiga sisa harta peninggalan. Adapun skema pembagiannya adalah:
1.Ahli waris yang mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) ada 4 orang
a.       2 orang anak perempuan atau lebih, dengan ketentuan tidak bersama dengan mu’ashibnya (yang menjadikannya ‘ashobah)
b.       2 orang cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan bila mereka tidak bersama-sama anak perempuan kandung atau mu’ashibnya.
c.       2 orang saudari sekandung atau lebih, dengan ketentuan mereka tidak bersama-sama dengan mu’ashibnya.
d.       2 orang saudari seayah atau lebih, dengan ketentuan bila simati tidak mempunyai anak perempuan kandung, atau cucu perempuan pancar laki-laki, atau saudari kandung.
2.Ahli waris yang mendapatkan  bagian sepertiga (1/3)
a.       Ibu, dengan ketentuan ia tidak bersama-sama dengan far’u waris, laki-laki maupu permpuan atau bila ia tidak bersama-sama dengan 2 orang saudara-saudari sekandung atau seayah atau seibi saja.
b.       Anak-anak ibi (saudara seibu bagi si mati) laki-laki maupun perempuan 2 orang atau lebih, dengan ketentuan bila mereka tidak bersama-sama far’u waris laki-laki maupun perempuan atau tidak bersama-sama denagn ashlu waris laki-laki (seperti ayah, kakek  shahihah).
3.Ahli waris yang mendapatkan bagian sepererenam (1/6) ada 7 orang, yaitu:
a.       Ayah, dengan ketentuan bila ia bersama-sama dengan far’u waris laki-laki (yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki betapa jauh menurunnya)
b.       Ibu, dengan ketentuan bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’u waris secara mutlak atau bersama-sama dengan dua orang  atau lebih saudara saudari secara mutlak.
c.       Kakek shahih, bila ia mewarisi bersamasama far’u waris laki-laki.
d.       Nenek shahihah, bila ia tidak bersama-sama dengan ibu.
e.       Saudara seibu, laki-laki maupun perempuan, bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’u waris laki-laki maupun perempuan atau mewarisi bersama-bersama dengan ashlu waris laki-laki.
f.        Cucu perempuan pancar laki-laki, bila ia mewarisibersama-sama dengan seorang anak perempuan kandung.
g.       Seorang saudari seayah atau lebih, bila ia bersama-sama dengan saudari kandung.
4.Para ahli wris yang mendapatkan bagian seperdua (1/2), ada 5 orang, yaitu:
a.       Seorang anak perempuan, dngan ketentuan bila ia tidak bersama dengan anak laki-laki yang menjadi mu’ashibnya.
b.       Seorang cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan bila ia tidak bersama-sama dengan anak perempuan atau orang laki-laki yang menjadi mu’ashibnya.
c.       Suami, bila ia tidak bersama-sama far’u waris.
d.       Seorang saudari kandung, bila ia tidak mewarisi bersama-sama dengan mu’ashibnya.
e.       Seorang saudari seayah, bila ia tidak bersama-sama dengan anak perempuan kandung, atau cucu perempuan pancar laki-laki, atau saudari kandung.
5.Para ahli waris yang mendapatkan bagian seperempat (1/4), ada 2 orang, yaitu:
a.       Suami, dalam keadaan bila ia mewarisi  bersama-sama dengan far’u waris bagi si istri, baik yang lahir dari perkawinannya dengan suami tersebut, maupun yang lahir dari perkawinannya dengan suami yang terdahulu.
b.       Istri, dengan ketentuan bila tidak mewarisi bersama-sama dengan far’u waris, baik yang lahir dari perkawinannya iti sendiri, ataupn dengan istri yang terdahulu.
6.Ahli waris yang mendapatkan bagian seperdelapan (1/8), hanya 1 orang, yaitu istri dalam keadaan bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’u waris bagi suami, baik yang lahir dari perkawinannya dengan istri tersebur, maupun istri terdahulu.
           Adapun bagian sepertiga sisa (hasil ijtihad fuqaha) dimiliki oleh ibu, dalam keadaan ia mewarisi bersama-sama dengan ayah dan salah seorang dari suami-istri bagi si mati. [7]
           2.’Ashabah dan bagiannya
           Lafadz ashobah menurut bahasa berarti kerebat seseorang dari jurusan ayah atau anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak[8]. Menurut istilah Fradhiyun ialah: ahli waris yang tudak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh fuqoha maupun yang belum disepakati oleh mereka.
           Sedangkan menurut ajaran kewarisan patrilineal syafi’i ialah: golongan ahli waris yang mendapatkan bagian terbuka atau sisa.
           Ahli waris ahobah ini menurut pembagian hazarain dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an” dinamakan ahli waris bukan dzul faraidl, yang kemudian beliau membagi ahli waris ashobah menjadi 3 golongan, yaitu: ashobah binafsihi, ashabah bilghoiri, ashobah ma’alghoir.[9]

a.       ashobah binafsi
           Ialah kerabat laki-laki yang bipertalikan dengan si mati tanpa diselingi oleh orang perempuan. Golongan ashobah binafsi ini berhak mendapatkan semua harta atau semua sisa, yang termasuk di dalamnya yaitu:
·         Anak laki-laki;
·         Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki;
·         Ayah;
·         Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum putus dari pihak ayah;
·         Saudara laki-laki sekandung;
·         Saudara laki-laki seayah;
·         Anak saudara laki-laki sekandung;
·         Anak saudara laki-laki;
·         Paman yang sekandung dengan ayah;
·         Paman yang seayah dengan ayah;
·         Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah;
·         Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah;[10]
Bagian ahli waris ‘ashobah binafsi:
            Jika ashobah binafsi ini mewarisi bersama-sama dengan ahli waris ashhabul furudl, maka mereka menerima sisa dari ashabul furudl selama bagian-bagian mereka yang terkahir tidak sampai menghabiskan seluruh harta peninggalan. Dengan demikian bisa terjadi para ahli waris ashobah, tidak memperoleh bagian sedikitpun, bila ternyata harta peninggalan sudah terwariskan habis oleh ashhabul furudl.
            Jika ashobah itu hanya seorang diri saja dan masih ada sisa harta peninggalan, atau para ahli waris yang bakal mewarisi tidak ada golongan ashhabul furudlnya sama sekali, maka sisa atau seluruh harta peninggalan diwarisinya sendiri, tetapi jika ashobah lebih dari satu maka diadakan seleksi menurut garis keturunannya (jihat).
            Adapun garis keturuna (jihat) ashobah binnafsi adalah:
a.       jihat bunuwwah: keturunan langsung dari yang meninggal, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki walaupun betapa rendah derajadnya.
b.       Jihat ubuwwah: asal (orang tua) dari yang meninggal, ayah dan nenek sejati walaupun sudah berapa tinggainya.
c.       Jihat ukhuwahpersaudaraan dengan yang meninggal, termasuk saudara laki-laki seibu sepabak (saudara kandung) atau sebapak, dan anak lelaki mereka walaupun berapa jauhnya.
d.       Jihat umummah: bersepupu (misan) dari yang meninggal, paman dari yang meninggal, paman dari kakek sejati, berapun tingginya, dan juga anak lelaki dari anak lelaki mereka berapapun jauhnya.[11]

b.       ashabah bilghoir
            Ialah, seorang wanita yang menjadi asahabah karena ditarik oleh seorang laki-laki. Pengertian yang lain yang dikemukakan Drs.Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris ialah, setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah.
            Ashabah bilghoir itu ada 4 orang wanita, keempatnya dari golongan asahabul furudl yang mendapatkan ½, kalau dia hanya seorang, dan mendapatkan 2/3 kalau lebih dari seorang, mereka adalah:
·         Anak perempuan kandung
·         Cucu perempuan pancar laki-laki
·         Saudari sekandung
·         Saudari tunggal ayah
Orang-orang laki-laki yang menjadikannya ashobah:
·         Anak laki-laki kandung > anak perempuan kandung
·         Cucu laki-laki pancar laki-laki > cucu perempuan pancar laki-laki
·         Saudara sekandung > saudarinya yang sekandung
·         Saudara seayah >saudarinya yang seayah
·         Kakek > saudari seknadung atau seayah (dalam beberapa keadaan saja)
Syarat-syarat menjadi ashabah bilghair:
·         Perempuan yang menjadi ashabah tergolong ahli waris asbabul furudl
·         Perempuan yang menjadi ashabah ada persamaan keturunan dengan mu’asibnya
·         Adanya persamaan derajat antara orang perempua dengan mu’ashibnya
·         Adanya persamaan kekuatan kerabat[12]

c.       ashabah ma’alghair
Ialah, saudara perempuan yang mewaris bersama keturunan dari pewaris, mereka adalah:
·         Saudara perempuan sekandung
·         Saudara perempuan seayah
Kedua orang tersebut dapat menjadi ashabah ma’alghair dengan syarat-syarat:
·         Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki sampai berapapun jauh menurunnya.
·         Tidak berdampingan dengan saudaranya yang menjadi mu’ashibnya (saudara laki-laki)[13]

3.Dzawi al-arham
            Pengertian dzawi al-arham ialah: orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja. Sedangkan ulama’-ulama’ faraidh menyatakan bahwa dzawi al-arham  adalah para ahli waris selain ashab al-wurudl dan ashabah.
           

Pembagian dzawi al-arham:
§  Orang yang berhubungan dengan orang yang meninggal, sedang ia bukan dzawi al-furudh atau ashabah.
§  Orang yang berhubungan dengan yang meninggal, karena yang meninggal itu dinishbatkan kepada mereka lantaran mereka adalah ayah-ayah dari yang meninggal.
§  Orang yang berhubungan kepada ayah dan ibu yang meninggal
§  Orang-orang yang berhubungan kepada kakek-kakek yang meninggal[14].
Pusaka dzawi al-arhan:
            Para fuqaha’ golongan shahabt, tabi’in dan imam-imam madzhab yang menyusul kemudian memperselisihkan apakah dzawi al-arham itu dapat mempusakai harta peninggalan atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang saling berlawanan, yaitu:
            Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al-arham itu tidak dapat mewarisi sama sekali. Jadi andaikan ada seorang yang meninggal duniadengan tidak meninggalkan ahli waris dzawi al-furudl atau ashabah, harta warisnya diserahkan ke baitul mal, meakipun ia meninggalkan ali waris dzawi al-arham.
            Ulama’-ulama’ yang berpendapat demikian dari golongan shahabat adalah Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas r.am,,dari golongan tabi’in adalah Sa’id Ibnu al-Musayyab, Sa’ad bin Jubair, dab dari golongan fuqaha yang terkenal ialah, Sufyan as-Tsauri, Imam Malik, Imam as-Syafi’iy, al-Auza’i, dan Ibnu Hazm.
            Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa dzawi al-arham dapat mewarisi harta peninggalan, bila seorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris dzawi al-furudh yang dapat menerima radd atau ahli waris ashabah.
            Diantara ulama’ yang berpendapat demikian dari golongan shahbat adalah 4 khulafa al-rasyidin, Ibnu Mas’ud, Mi’adz bin Jabbal r.um.. dari golongan tabi’an antara lain ialah Syuraih Alqodli, Ibnu Sirrin Atha’ dan Mujahid, dari golongan imam madzhab dan mujtahid ialah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, Abu yusuf, dan fuqaha’-fuqaha’ terkemudian dari pengikut setia mazhab Syafi’iyah, dan Malikiyah.[15]
            Syarat-syarat pusaka dzawi al-arham
§  Sudah tidak ashabul furudl atau ashabah sama sekali, bila msiah ada seorang saja diantara mereka, mka dzawi al-arham tidak dapat menerima waris sama sekali.
§  Bersama dengan salah seorang suami atau istri.[16]
  DAFTAR PUSTAKA:
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, PT Ma’arif, Bandung; 1981
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia (dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW),
 PT Refika Aditama, Bandung; 2005
Ash-Shiddieqy, Hasby, Fiqh Mawaris, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang;1997


[1] Ilmu waris, Drs. Fatchur Rahman, PT. Al-Ma;arif Bandung
[2] Ilmu waris, Drs. Fatchur Rahman, PT. Al-Ma;arif Bandung, 115
[3] Ibid, 122
[4] Hukum waris Indonesia, Dr.Eman Suparman, PT Refika Aditama, Bandung, 17
[5]Fiqh Mawaris, Prof.DR.Hasbi Ash Shiddieqy; Semarang, 65
[6] Ilmu waris, Drs. Fatchur Rahman, PT. Al-Ma;arif Bandung, 128
[7] Ilmu waris, Drs. Fatchur Rahman, PT. Al-Ma;arif Bandung,130
[8] Hukum waris Indonesia, Dr.Eman Suparman, PT Refika Aditama, Bandung,18
[9] Ibid,18
[10] Hukum waris Indonesia, Dr.Eman Suparman, PT Refika Aditama, Bandung,19
[11] Fiqh Mawaris, Prof.DR.Hasbi Ash Shiddieqy; Semarang,164
[12] Ilmu waris, Drs. Fatchur Rahman, PT. Al-Ma;arif Bandung,347
[13] Ibid,348
[14] Fiqh Mawaris, Prof.DR.Hasbi Ash Shiddieqy; Semarang,236
[15] Ilmu waris, Drs. Fatchur Rahman, PT. Al-Ma;arif Bandung,353
[16] Ibid,357

3 komentar: